ANALISIS DATA SOSIOLINGUISTIK

Posted by

ANALISIS DATA SOSIOLINGUISTIK


BAB I

PENDAHULUAN


1. Studi Sosiolinguistik
Sosiolnguistik adalah cabang ilmu bahasa yang berusaha menerengkan korelasi antara perwujudan struktur atau elemen bahasa dengan faktor-faktor sosiokultural perturunannya tentu saja mengasumsikan pentingnya pengetahuan dasar-dasar linguistik degan berbagai cabangnya, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik

Studi sosiolinguistik memandang bahasa (ekspresi) sebagai tanda, sistem sosial, sistem komunikasi, bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, peneliti selalu memperhitungkan penggunaan bahasa dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor sosial. Kajian sosiolinguistik bertumpu pada bahasa yang terkait dengan konteks sosial.

Sementara itu, para ahli linguistik (yang berpaham struktur, lebih-lebih transportasi) sering kali memiliki pandangan yang menafsirkan sumbangan yang dapat diberikanoleh sosiolinguistik dalam menerangkan masalah-masalah yang bersifat struktural. Bagi pakar struktural masalah-masalah kebahasan sepenuhnya muncul karena faktor kebahasaan, dan harus dicari solusinya secara internal pada elemen-elemen bahasa itu sendiri tanpa sedikitpun memberi peluang bagi munculnya ekplanasi sosiokultural yang bersifat ekstra lingual. Tokoh yang secara ekstrim menolak dipertimbangkanya faktor di luar bahasa untuk menjelaskan masalah kebahasa ialah Chomsky (1965). Di Indonesia pandangan yang ekstrim dikemukan oleh sudaryanto dalam berbagi bukunya (1982; 1995). Dengan menyeendirikan linguistik (ilmu bahasa) dengan ilmu-ilmu yang salah atau dasarnya bahasa (fonetik, etnolinguistik, dan psikolinguistik).

Temuan-temuan yang dihubungkan dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Indonesia dapat dicatat misalnya karya-karya dialektologi, diataranya seperti Mahsun (1994) mengenai bahasa-bahasa disumbawa, Ayatrohaedi (1978) mengenai bahasa Sunda di Cirebon,Lauden (1990) mengenai bahasa Sunda di Tangerang, dan Bawa (1983) mengenai bahasa Bali, atau karya-karya sosiolinguistik seperti yang telah dikerjakan oleh Kartomiharjo (1999) mengenai sisitem honorifik bahasa Jawa Banyumas, dan Markhamah tentang bahsa Jawa etnik Cina di Surakarta.

Istilah metode penelitian dan beberapa istilah yang berhampiran dengannya merupakan istilah-istilah kunci dalam literatur metodologi penelitian ilmu bahasa dan sosial. Dalam sebagian literatur ilmu bahasa, pengertian metode seringkali dibedakan dengan teknik (Sudaryanto, 1993: 9; Subroto, 1992: 32). Metode dipahami sebagai cara penelitian yang lebih abstrak, sedangkan teknik dipandang sebagai cara penelitian yang lebih kongkret atau bersifat operasional. Di samping metode dan teknik, istilah metodologi dipakai sebagai acuan terhadap ilmu tentang metode. Berbeda halnya dalam literatur ilmu sosial (seperti sosiologi dan antropologi) (lih. Koentjaraningrat (ed.), 1994), pengertian metode dan teknik nyaris tidak dibedakan. Istilah metode dan teknik diacu untuk satu pengertian yang sama, yaitu cara melakukan penelitian. Bahkan, metodologi dengan metode juga hampir sulit dibedakan; di satu literatur dipakai metodologi penelitian, di literatur lain dipakai metode penelitian.

Dari sejumlah literatur tersebut, baik ilmu bahasa maupun ilmu sosial, ditarik satu pemahaman bahwa pengertian metode mengacu pada cara penelitian. Dalam kata lain, metode dapat pula dirumuskan sebagai langkah-langkah yang diambil peneliti untuk memecahkan masalah penelitian. Oleh karena itu, sesungguhnya, metode penelitian ini dimulai dari penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis.

Dalam ilmu sosial, langkah-langkah penelitian yang penting berkisar pada metode penyediaan data. Sebaliknya, dalam ilmu bahasa terutama literatur linguistik struktural, yang lebih diutamakan adalah metode analisis bahasa. Hal ini agaknya dapat dikaitkan dengan asumsi bahwa data bahasa lebih mudah diperoleh karena bahasa tersedia pada penuturnya atau ada dalam teks. Walaupun demikian, pendapat semacam ini tidak selalu benar karena data bahasa berbeda-beda sifat pengadaan atau penyediaannya, seperti penyediaan data dalam ilmu sosial. Oleh karena itu, di samping pentingnya analisis data, ilmu bahasa juga memandang penting metode penyediaan data, bahkan penyajian hasil analisis. Metode penyajian hasil analisis juga dipandang penting karena ada soal yang agak berbeda terhadap penyajian data bahasa dengan bahasa (metabahasa). Dalam ilmu bahasa, metode penyajian hasil analisis dilakukan dengan visualisasi verbal (rumusan kata-kata biasa) dan visualisasi nonverbal seperti penyajian sistem tanda.

Berangkat dari pertimbangan istilah-istilah di atas, setiap peneliti perlu memperhatikan esensi objek kajian dalam sebuah penelitian. Objek kajian (object of study) adalah sesuatu atau apa yang ingin diteliti. Hymes (dalam Garvin, 1970 : 252) mengatakan jika sebuah bahasa dijadikan objek kajian, bahasa itu hanyalah gerbang masuk dan pendahuluan ke arah penelitian yang sebenarnya. Fokus kajian bahasa itu adalah isi bahasa. Apa yang menjadi isi bahasa dalam konteks masyarakat misalnya adalah basa-basi, makian, sapaan, latahan, sanjungan, dan sebagainya. Objek kajian dalam sosiolinguistik ini nyaris tidak terbatas karena begitu banyak jumlahnya. Seorang peneliti diharapkan jeli melihat objek kajian yang menarik untuk kepentingan manusia (humanities) pemakainya daripada hanya untuk ilmu itu sendiri.

Kadang-kadang objek kajian dipahami sama dengan topik atau tema dalam kajian sosiolinguistik, tetapi sering pula berbeda. Dalam perspektif sosiolinguistik, topik cenderung lebih luas dan berkorelasi dengan faktor-faktor sosial budaya, misalnya sapaan hormat (honorifik) dalam masyarakat Jawa. Pengertian masyarakat Jawa bisa dikaitkan dengan penutur yang berbeda status sosial, umur, atau jenis kelaminnya. Namun demikian, topik yang sudah cukup panjang ini bisa pula disebut objek kajian. Selain objek kajian dan tema (topik), judul sebuah penelitian juga menarik untuk dicermati.

Judul bisa diacu dari objek kajian, atau tema penelitian. Hanya saja ada preferensi sekelompok ilmuwan yang menganggap bahwa judul yang berasal dari topik atau objek kajian tidak merangsang selera untuk ingin tahu objek tersebut lebih jauh.. Ada pendapat yang mengatakan sebuah judul yang menarik adalah judul yang merangsang orang untuk berpikir (thought provoking), atau tidak dapat diramalkan (unpredictable) sebelumnya.

Selain berkaitan dengan istilah pokok dalam sebuah penelitian, perihal paradigma dan asumsi sosiolinguistik perlu dicamkan dalam benak peneliti agar esensi kajian bahasa dan masyarakat sosial ini tidak melenceng jauh dari relnya atau sekurang-kurangnya tidak menjadi bias. Pertama, kaum sosiolinguis berpendapat bahwa paradigma masyarakat homogen tidak pernah ada karena setiap masyarakat bahkan setiap individu berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, dalam kajian sosiolinguistik dianut satu paradigma yang menyatakan bahwa masyarakat selalu heterogen. Dengan heterogenitas inilah pilihan kode bahasa itu menjadi bermacam-macam. Ada bentuk yang ringkas, ada yang lengkap, ada yang formal, ada pula yang informal, ada bentuk yang santun ada pula yang kasar, atau gradasi lain di antaranya. Di samping itu, ada dua asumsi pokok yang perlu dipahami sebelum melakukan penelitian sosiolinguistik, yaitu asumsi bahwa (1) penjelasan tentang bahasa tidak memadai tanpa melibatkan unsur-unsur di luar bahasa, dan (2) bahasa selalu mempunyai variasi. Karena bahasa harus dihubungkan dengan nonbahasa, maka ancangan penelitian sosiolinguistik mestinya kontekstual. Demikian pula, karena konsep masyarakat dipahami heterogen maka bahasa pasti memiliki variasi. Secara deskriptif, varian bahasa yang satu diperlakukan sama dengan varian yang lain. Pemahaman ini perlu dipertegas karena berdasarkan paradigma masyarakat yang homogen, adanya variasi karena bersumber dari bentuk pemakaian bahasa yang seharusnya, bahkan ada pendapat yang menyatakan secara ekstrem bahwa variasi bahasa terjadi karena kesalahan pemakaian bahasa. Pendapat ini sama saja ingin mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada variasi bahasa.

2. Beberapa Dimensi Penelitian Sosiolinguistik
Dimensi adalah kisi-kisi yang dapat membangun kerangka berpikir dalam sebuah penelitian. Ada beberapa dimensi yang penting untuk diketahui sebelum langkah-langkah penelitian dilakukan sehubungan dengan penggunaan metode yang seharusnya dipilih sesuai tujuan penelitian atau tujuan analisis. Sekurang-kurangnya ada 3 dimensi, yaitu dimensi pemerian (to describe the object), dimensi penjelasan (to explain the object), dan dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts).

Dimensi deskriptif cederung melihat bahasa secara sinkronis, yaitu bahasa ada pada waktu diamati. Pada prinsipnya hasil pengamatan bahasa dalam dimensi ini digambarkan secara objektif berdasarkan apa yang dilihat (what you see) bukan seperti apa yang diharapkan (not what you expect to). Hasil penelitian deskriptif sering pula disebut etnografi (komunikasi atau berbicara). Dalam kaitan ini, peneliti akan melihat sifat-sifat objek yang diamati, yaitu sifat umum bahasa (kesemestaan/universalitas), dan sifat khusus bahasa (kekhususan/ partikularitas). Dalam mengamati fenomena bahasa dalam masyarakat hampir dapat dipastikan, sang peneliti dapat menguraikan ihwal keumuman (kesemestaan) objek bahasa ini, misalnya sifat-sifat bahasa umumnya memiliki penanda solidaritas, penanda kesantunan, penanda kekuasaan, dan penanda fungsi. (Perihal kesemestaan sosiolinguistik lihat Janet Holmes, 1992). Sebaliknya, kekhususan pemakaian bahasa di masyarakat juga memiliki ciri-ciri yang khas, misalnya antara satu objek dengan objek lain, atau satu objek yang sama dalam masyarakat bahasa (speech community) yang berbeda.

Dimensi eksplanatif melihat bahasa tidak an sich pada apa yang dilihat, tetapi lebih dari itu. Dalam dimensi ini, peneliti berusaha menjelaskan mengapa objek yang diamati demikian faktanya. Peneliti harus menjelaskan sebab-akibat (lantaran-tujuan) mengapa objek itu tampak demikian. Untuk menjelaskan objek kajian ini, peneliti bisa menarik bahasa ke luar dari titik waktu yang ia lihat, artinya bisa secara diakronis dan bisa pula secara sinkronis. Asumsinya yang perlu diingat adalah bahwa penjelasan bahasa karena bahasa itu adalah proposisi yang tidak memadai, tetapi lebih dari itu, yaitu bahwa bahasa disebabkan atau menyebabkan unsur-unsur luar bahasa. Secara kongkret, penjelasan hubungan kausalitas ini dipandang lebih memuaskan dari sekadar dimensi deskriptif. Misalnya, untuk objek kajian apologi (permaafan), peneliti memberi penjelasan mengapa seseorang dituntut minta maaf atau memberi maaf. Penjelasan ini bisa menyangkut alasan kesalahan, ketersinggungan atau penyelaan, atau sekadar kesopanan.

Dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts) tampak mirip dengan kedua dimensi di atas. Namun demikian, dimensi ini agaknya bisa diperinci ke dalam tiga aspek, yaitu aspek temporal, aspek lokatif dan aspek material. Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek temporal menyangkut waktu kosmis dan waktu biologis. Pertama, ketika sebuah objek diamati, objek itu bisa dilihat dari realitas waktu kosmis yang bergulir dari waktu lampau, kekinian, dan masa datang. Untuk kasus permaafan, orang bisa meminta maaf karena peristiwa yang telah terjadi (mis. Maaf kemarin saya lupa...), atau karena peristiwa kekinian (maaf numpang tanya), dan karena peristiwa yang akan terjadi (misalnya maaf besok nggak bisa datang, dsb.). Dari aspek kosmis semacam ini, peneliti bisa mengkategorisasikan jenis apologi ke dalam 3 jenis, misalnya apologi normatif, apologi permisif, dan apologi antisipatif. Kedua, objek bisa pula diamati berdasarkan waktu biologis, yaitu berdasarkan perkembangan waktu yang dijalani manusia, dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan lansia. Ketika orang mengamati pemakaian kelompok penutur balita, bahasa akan dijelaskan berdasarkan konteks waktu biologis ini, dst.

Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek lokatif berkaitan dengan pemakaian ruang komunikasi (spasial). Ada pemakaian bahasa yang dipengaruhi oleh aspek lokatif ini, misalnya objek pemakaian bahasa pada kampanye dengan percakapan keluarga akan menempati ruang yang berbeda, yang satu pada ruang publik yang yang lain pada ruang domestik. Demikian pula, jika orang mengamati fenomena pemakaian bahasa pada demonstrasi dengan talk-show akan berbeda ruang komunikasinya, yang pertama biasanya pada ruang luar gedung (outdoor) dan yang terakhir biasanya pada ruang dalam gedung (indoor).

Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek material menyangkut satuan pengisi ruang dan waktu di atas, yaitu bagaimana bahasa menjadi interaksional dalam wacana atau teks. Pengisinya adalah bahasa (dalam wujud teks) itu sendiri dan penuturnya (sebagai pengguna teks). Aspek pengisi ruang dan waktu komunikasi ini sangat signifikan menentukan pilihan kode tuturan, orang yang berbeda akan memilih kode yang berbeda atau sama, demikian pula bahasa yang berbeda akan berdampak sama atau berbeda pada makna, maksud, dan fungsinya. Karena begitu banyak aspek-aspek yang dapat membantu analisis pemilihan varian bahasa, Dell Hymes (1972) mengajukan instrumen analisis yang apik dan mudah diingat dalam bentuk singkatan SPEAKING (masing-masing setting-scene, participants, ends, act sequence, key, instruments, norms, dan genre).

BAB II

METODE PENELITIAN


1. Data dan sumber data
Data dalam penelitian sosiolinguistikberupa data lisan dan data tulis. Data lisan sebagai data utama yanag akan diteliti. Data merupakan data kebahasaan yang hidup di masyarakat pemakai bahasa yang diteliti. Data ini berupa fenomena kebahasaan dengan segala aspeknya dari penutur asli penggunanan bahasa yang akan diteliti secara wajar dan alami maksudnya tanpa dibuat-buat. Sumber data dalam penelitian berasal dari inforn yang berupoa tuturan

2. Metode Pengumulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan dua teknik, yaitu teknik rekam, teknik catat dan teknik simak.
  1. Teknik rekam teknik bisa secara terbuka yaitu perekaman diketahui oleh pihak yang direkam. Dan secara tertutup yaitu perekaman yang tidak diketahui oleh pihak informan untuk mendpatkan sata secara wajar. Pengambilan data dengan cara merekam percakapan. Perekaman ini bisa dilakukan bersamaan dengan yang lain dalam pengumpulan data.
  2. Teknik catat selain perekaman dilakukan pencatatan data yang diperkiraan perlu perhatian keterangan khusus, seperti waktu dan tempat tertajinya tiak tutur ,wujud tuturan, indentitas penutur, situasi tutur. Teknik catat dipakai untuk mendokumentasikan data dari hasil wawancara / observasi
  3. Teknik simak yaitu menyimak secara langsung hasil wawancara yang telah dilakukan, yang tertra dalam kaset rekaman.

Sebagaimana dikemukakan di awal, objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis data, dan langkah penyajian hasil analisis. Ada prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial (baca sosial budaya masyarakat). Memang, ada persoalan penamaan dalam metode penelitian sosiolinguistik, walaupun para penelitinya merasa bahwa penamaan bukan masalah yang urgen untuk membuat keputusan meneruskan atau menghentikan penelitian sosiolinguistik itu karena tanpa penamaan terhadap jenis-jenis metode itu pun, mereka telah dapat mengamati dan menjelaskan isu-isu dalam kajian sosiolinguistik.

Pertama-tama, seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti sebagaimana adanya, oleh karena itu bahan atau data linguistik yang diperoleh harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat (contrived). Pengertian data bahasa yang alamiah ini nyata adanya (real), sekalipun ia dapat dibangkitkan oleh si peneliti tetapi data itu harus dapat diujikan kepada penutur asli lainnya. Walaupun data dapat dibangkitkan peneliti, data bahasa yang diperoleh perlu diselaraskan dengan pemakaian bahasa oarng lain dalam masyarakat bahasa yang sama agar datanya sahih.

Kedua, seorang peneliti harus mampu menyediakan data sesuai dengan objek dan masalah penelitiannya. Kalau peneliti ingin mengamati pemakaian bentuk ringkas dari /begitu saja kok repot/ tentunya ia tidak akan menunggu kapan informan memakai tuturan tersebut, tetapi peneliti akan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan. Di sisi lain, ketika peneliti ingin meneliti pemakaian campur kode misalnya, ia akan mengamati pemakaian bahasa seseorang atau lebih dalam sejumlah percakapan. Si peneliti dalam hal ini tidak dapat mengajukan pertanyaan kata apa yang Anda campurkan jika Anda mengucapkan tuturan seperti ini atau seperti itu. Ilustrasi semacam ini memberi gambaran ringkas bagaimana menyediakan data sesuai dengan objeknya.

Pada prinsipnya melihat sifat dapat seperti diilustrasikan di atas, ada dua macam metode penyediaan data yang paling dikenal. Kedua metode penyediaan data ini dikenal tidak hanya dalam literatur ilmu bahasa tetapi juga dalam ilmu sosial, yaitu metode observasi dan metode wawancara (lih. Chaika, 1982: 23-25; Kartomiharjo, 1988: 17-19); Spolsky, 2003: 9-12). Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993).

Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta. Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur metodologi penelitian sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial lainnya ( Nasution, 2004: 106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap.

Pada prinsipnya, metode wawancara adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara langsung. Dikatakan secara langsung karena hanya tim peneliti saja yang dapat melakukan wawancara, baik ketua peneliti atau para asistennya. Hal ini perlu digarisbawahi karena apabila wawancara dilakukan orang lain maka informasi yang diperoleh kurang memadai bahkan akan banyak kehilangan konteks. Kemudian, informan di sini dipahami sebagai orang yang memberi informasi kepada peneliti. Informasi yang diberikan itu disebut data oleh peneliti.

Dari beberapa jenis metode wawancara yang terdapat dalam literatur ilmu sosial, satu jenis metode wawancara yang sering diacu dalam penelitian sosiolinguistik adalah metode wawancara yang direncanakan secara terstruktur atau tidak terstruktur. Berdasarkan cara ini pula, metode wawancara dibagi atas dua klasifikasi, yaitu metode wawancara terstruktur (structured interview) dan metode wawancara tidak terstruktur (unstructured interview). Metode wawancara jenis pertama menyangkut pada persiapan peneliti untuk menyusun daftar pertanyaan kepada informan. Biasanya peneliti membuat sejumlah pertanyaan berdasarkan rumusan masalah yang akan dipecahkan. Dengan data yang tersedia peneliti akan menganalisis pemecahan masalah tersebut.

Metode wawancara jenis kedua, peneliti justru mempersiapkan pertanyaan pokok saja. Ketika wawancara berlangsung, informan akan memberi jawaban pertama dan dengan jawaban pertama itu peneliti akan memperjelas jawaban itu dengan mengajukan pertanyaan yang sifatnya lebih mendalam, begitu seterusnya secara beruntun. Apabila dipandang sudah jelas, peneliti akan beralih pada pertanyaan dengan pokok bahasan yang lain. Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti bisa menggunakan teknik elisitasi (Spolsky, 2003: 9), yaitu satu strategi untuk memancing atau mengarahkan informan dalam memberi informasi yang sebenarnya. Sistem wawancara tidak terstruktur ini seringkali disamakan pengertiannya dengan metode wawancara mendalam (indept interwiewing method).

Selain tiga jenis metode penyediaan data yang telah dibicarakan di atas, sebenarnya ada satu jenis metode lain yang khas dalam penelitian linguistik, yaitu metode intuisi. Dalam literatur lain metode ini disebut metode introspeksi (Sudaryanto, 1993; Mahsun, 2005: 101). Metode intuisi adalah metode penyediaan data dengan cara membangkitkan sendiri data kebahasaan yang dimiliki peneliti dengan mengandalkan intuisinya.

Menurut Asher (1992) penyediaan data dengan metode ini memang relatif cepat, namun hasilnya sangat mungkin bersifat idiosinkretik (gaya tutur individu yang mungkin saja merupakan kesalahan bagi orang lain), sebagaimana diungkapkan Schriffin (1987), ”People tend to be more creative than linguists can imagine.” Dalam hubungannya dengan penelitian sosiolinguistik, metode intuisi yang mengandalkan kemampuan parole pribadi penelitinya dipandang tidak valid kecuali bersama-sama dengan peneliti lain guna mendapatkan informasi kolektif dalam komunitas sosial tertentu. Untuk menyamakan persepsi terhadap masalah yang akan dipecahkan tim peneliti secara bersama-sama menyelenggarakan diskusi kelompok secara terfokus atau sering disebut teknik focus group discussion. Hasil sekelompok orang ini baru agaknya dapat dipandang sebagai bahan kajian sosiolinguistik, yaitu suatu kajian bahasa yang melibatkan sekelompok orang dalam satu masyarakat tutur (speech community).

Seperti dikemukakan di awal, metode penyediaan data ini pada prinsipnya dipilih berdasarkan sifat datanya. Metode observasi, metode wawancara, metode angket, dan metode intuisi adalah metode penyediaan data yang memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing.

3. Metode Analisis Data
Setelah data diperoleh, tugas peneliti selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Langkah analisis data ini adalah langkah terpenting untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ingin dipecahkan. Sebelum dijelaskan jenis-jenis metode analisis perlu dikemukakan pemahaman dasar dari studi sosiolinguistik mengenai teks sebagai objek kajian yang bersifat verbal, ko-teks sebagai lingkungan teks yang bersifat verbal, dan konteks sebagai unsur nonteks yang bersifat nonverbal, yaitu menyangkut konteks situasi dan konteks sosial dan budaya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik satu simpulan bahwa studi sosiolinguistik melihat objek kajiannya tidak pernah terpisah dari teks lain dan konteks dalam pengertian lebih luas. Artinya objek kajian harus ada pada pemakaian termasuk variasinya (uses), pemakainya (users) yang berkaitan dengan informasi umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, dan pekerjaan, serta pada ciri interaksi verbal tersebut seperti situasi tuturan, peristiwa, lokasi, topik, hubungan antarpenutur, bagaimana tuturan disampaikan, dsb. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai tuturan verbal (ko-teks), tetapi juga dipandang sebagai unsur nonverbal. Ko-teks menempati posisi sebelum atau setelah teks verbal yang dikaji. Selain ko-teks, konteks amat penting dalam mengurai dan menjelaskan fenomena objek kajian. Konteks disepakati sebagai unsur nonbahasa.

Sebenarnya ada aspek lain selain ko-teks dan konteks yang terdapat pada data penelitian. Aspek lain itu adalah aspek suprasegmental seperti intonasi, tekanan atau titi nada. Aspek suprasegmental ini penting dalam korpus data bahasa lisan ketika seseorang mengamati penuturan satuan bahasa itu. Orang yang sedang marah berbeda pilihan kata dan cara penuturannya dari orang yang sedang dimabuk asmara, demikian pula orang yang sedang berpidato di depan publik berbeda penggunaan bahasanya dengan orang yang sedang melakukan dialog, dan seterusnya. Karena itu pula, terdapat pemetaan varian yang sangat signifikan karena faktor suprasegmental ini.

Dengan demikian, sesungguhnya seorang peneliti bahasa seyogyanyalah ia menempatkan posisi objek kajian yang diteliti itu dengan jelas atau kasat mata. Objek kajian hadir dalam tiga komponen pembentuk bahasa yaitu ko-teks (verbal), konteks (nonverbal), dan suprasegmental. Ketika seseorang ingin mengamati penggunaan bahasa yang hidup tentu berdasarkan tujuan peneltiannya maka ia melibatkan aspek suprasegmental bersama ko-teks dan konteks secara simultan. Sebaliknya ketika seseorang meneliti bahasa yang telah diubah ke dalam bentuk tulisan maka ia akan melihat bahasa itu sebagai fenomena yang berkorelasi secara ko-tekstual dan kontekstual.

Berangkat dari cara pandang data sosiolinguistik di atas, metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua jenis, pertama, metode yang berkaitan dengan pengkorelasian objek bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode yang berkaitan dengan pembedahan, pengolahan atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Cara kerja tiap-tiap metode ini sesungguhnya menggambarkan penamaan metode ini. Metode pertama dapat disebut metode korelasi atau metode pemadanan, sedangkan metode kedua disebut metode operasi atau metode distribusi. Ada sumber lain yang menyebutkan metode korelasi atau metode pemadanan ini sebagai metode kontekstual (Jendra, 1999), ada pula yang menyebutnya metode padan saja (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, metode operasi atau metode distribusi kadang-kadang disebut juga metode agih (Sudaryanto, 1993; Djajasudarma, 1993).

Metode korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Secara umum dalam metode penelitian ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi (lih. Rakhmat, 1993: 31), metode korelasi dipakai untuk menganalisis hubungan dua variabel. Dalam kaitannya dengan penelitian sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai variabel dependen atau varibel terikat, sedangkan unsur luar bahasa dalam hal ini konteks situasi dan konteks sosial budaya dipandang sebagai variabel independen atau variabel bebas. Skema berikut dapat mengilustrasikan antarunsur yang dianalisis.

BAHASA KONTEKS
(variabel dependen dan variabel independen)


Metode operasi atau metode distribusi adalah metode analisis yang menguraikan unsur-unsur substansial objek kajian dan mendistribusikannya dengan unsur-unsur verbal lainnya untuk mendapatkan pola, aturan atau kaidah yang berhubungan dengan konteks situasi dan sosial budayanya. Pada dasarnya, metode ini menganalisis antarunsur bahasa seperti digambarkan dalam skema di bawah ini.

BAHASA BAHASA
(variabel dependen dan variabel dependen)


Baik metode korelasi maupun metode operasi sama-sama menjelaskan adanya variasi dalam kajian interdisiplin ini. Pemahaman ini dibuktikan oleh analisis substitusi unsur-unsur konteks atau bahasa secara umum. Sebagai contoh, pemakaian sapaan terhadap seseorang niscaya berbeda-beda berdasarkan substitusi konteks situasinya. Seseorang disapa dengan nama kecil, nama keluarga, atau dengan gelar, dengan pangkat atau jabatan sudah galibnya ditentukan oleh konteks situasi tempat peristiwa tutur itu berlangsung. Variasi sapaan ini muncul, padahal, untuk referen (orang) yang sama. Di samping itu, substitusi pemakai bahasa misalnya si A dengan si B akan berakibat perbedaan pilihan kode bahasanya walaupun untuk maksud yang sama. Demikian pula, contoh lain yang memunculkan variasi karena substitusi unsur bahasanya, seperti dalam kasus campur kode atau interferensi. Seorang peneliti dapat menarik variasi standar dari tuturan bercampur kode atau berinterferensi itu. Dengan cara mengganti satuan bahasa yang terdapat dalam tuturan itulah peneliti dapat menyimpulkan bahwa bentuk tuturan bercampur kode atau varian dari bentuk lainnya, dan seterusnya.

Secara lebih khusus, setiap unsur konteks situasi dan konteks sosial budaya akan sangat signifikan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh setiap tataran bahasa. Semakin banyak jenis variabel yang terlibat dalam analisis seperti umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, pekerjaan, status sosial, wilayah, adat-istiadat, hingga pemakaian bahasa berjenjang dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana akan semakin kompleks analisis yang dihasilkan. Walaupun demikian, kerumitan analisis amat bergantung pada ruang lingkup penelitian dan masalah yang ingin dipecahkan. Kedalaman analisis kajian sosiolinguistik ditentukan oleh penggunaan metode operasi atau distribusi setelah pemakaian metode korelasi. Pemakaian metode korelasi saja sudah dapat dikatakan hasil analisisnya sebagai hasil analisis sosiolinguistik, namun penggunaan metode operasi atau distribusi saja belum tentu dapat dikatakan hasil analisis sosiolinguistik kecuali jika melibatkan isu-isu yang menyangkut masyarakat yang berbeda, misalnya isu kontak bahasa.

Berikut ini diuraikan beberapa contoh penelitian yang dapat dianalisis berdasarkan metode korelasi atau metode lainnya. Pilihan metode analisis ini bergantung pada alasan yang berkaitan dengan variasi bahasa sebagai tema sentral dalam penelitian sosiolinguistik. Karena variasi bahasa muncul berdasarkan fasilitas yang terdapat dalam tiap-tiap bahasa itu sendiri dan berdasarkan kebutuhan pemakainya, isu-isu sosiolinguistik dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) isu ragam intrabahasa (misalnya, standar-nonstandar, ringkas-lengkap, santun-solidaritas), dan (2) isu kontak antarbahasa (seperti, bilingualisme, alih kode, campur kode, interferensi).

Isu ragam intrabahasa menghasilkan analisis yang berkaitan variasi pemakaian bahasa seperti dikemukakan di atas. Gradasi standar-nonstandar (baku-tidak baku) misalnya dapat dianalisis berdasarkan hubungannya dengan ragam situasi (situation grading), ragam sosial (social-grading), bahkan ragam umur (age-grading) dan ragam jenis kelamin (sex-grading). Penghubungbandingan pemakaian bahasa dengan berbagai ragam ini jelas memakai kerangka kerja metode korelasi. Hasil penemuan Wolfram (1969, via Wardhaugh, 1986) di Detroit menyatakan bahwa semakin formal situasi tuturan, bahasa seseorang semakin mendekati penggunaan bahasa standar, dan semakin ke atas kelompok sosial penutur semakin standar pula bahasanya.

Selain metode korelasi, metode operasi atau metode distribusi juga dipakai untuk memecahkan masalah mengapa peribahasa yang satu lebih populer daripada peribahasa lainnya. Dengan cara menghubungkan peribahasa populer dengan yang tidak populer tetapi kedua peribahasa atau lebih itu memiliki makna yang sama, peneliti menafsirkan berdasarkan fakta-fakta yang terdapat dalam bentuk atau makna peribahasa itu dengan cara mengurai, mengganti, menambah atau menghilangkan sebagian unsur yang dapat memberi penjelasan kaidah mengapa peribahasa A lebih populer dari peribahasa B. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa popularitas peribahasa sebenarnya ditentukan tingkat kompetisi peribahasa itu dengan peribahasa lainnya. Berdasarkan analisis maknanya, semakin dekat kearifan peribahasa kepada kebutuhan masyarakat pemakainya dipandang semakin kompetitif peribahasa itu. Hasil lain secara bentuk, diketahui bahwa tidak kompetitifnya peribahasa bisa dikaitkan dengan pilihan leksikon dan dialek yang kurang disukai.

4. Metode Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis dapat disajikan secara metabahasa atau menurut sistem tanda. Secara metabahasa artinya analisis bahasa dinyatakan dengan bahasa. Metode semacam ini bisa disebut metode metabahasa saja. Dalam literatur lain metode serupa disebut metode informal (Sudaryanto, 1993).

Untuk penyajian hasil analisis dengan metode metabahasa, peneliti perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti tata urut penyajian, dan cara merumuskan kaidah. Tata urut penyajian yang dijadikan pedoman mengikuti hirarki sebagai berikut: (1) dari tataran yang rendah ke tataran yang tinggi, atau sebaliknya, (2) dari tataran yang sederhana ke tataran yang lebih rumit, (3) dari yang pasti ke yang mungkin, dan (4) dari yang dasar ke bentuk turunan. Sementara itu, cara merumuskan kaidah seringkali akan mengikuti logika-logika bahasa atau silogisme, misalnya (1) (a). proposisi adalah k; (b) proposisi selalu k; (c) Semua proposisi adalah k, (2) proposisi1’ adalah k1’, sedangkan proposisi2” adalah k2”, (3) jika proposisi1 adalah k1 , maka proposisi2 adalah k2, (4) gabungan-gabungan di antara ketiganya.

BAB III
ANALISI DATA





Campur Kode
Campur kode adalah suatu keadan berbahasa bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa dengan saling memsukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, unusur-unsur yang menyisip tidak lagi mempunyai fungsi sendiri (Suwito, 1983: 68). Campur kode memiliki berbagai wujud atau bentuk. Campur kode ada yang wujud kata, kata ulang, kelompok kata, idiom, maupun berwujud klausa. Dapat ditemukan dalam rekaman sebagai berikut:

A: Wedal sakmenikakatepatan dinten enem menawi tanggal malem ngoten nggih wulan dhulkaidah dinten rebo pahing kegiantan sak derengipun kangge malem selasa kataman quran ginarya. Lajeng selasa enjang khataman quran birakhip l
rawuh dalu kalih enjang punika benten inggih halaman ingkang wonten makam kebak sedaya dalu dalu bakda ngasar kondur enjang sampun rawuh malih lajeng
dados Mulai senin dumugi ahad antara dinten
Masalah sesaji menika saking panitia mboten, mboten ngedalaken namung masyarakat khususipun mbonang umumipun didol langsung kabupaten rembang sami rawuh ngasto sami ngasto sekedar sawontenipun
taun sampun dipunutus anu Istilahipun nyepi wonten mriki ngoten. Lha wonten dukuh mbonang
nggarap kepengurusan Sunan Bonang ndherek ngasto kepengurusan akhire Sunan Bonang ngampil persa. Lha iku kan Ibrahim putra dhewe ora pareng ndherek neng Ampel. Rasah mbantu neng Ampel masalahe wis
Musyawarah mboten kepareng kedah dipun wastakaken dhateng dalemipun piyambak-piiyambak inggih wonten
A: Njih menika menika remote wau ndillallah otomatis nggih melu
B: sampun saged anu
A: Kala mben malah dados nopo? Sunami napa ngaten. Yen sesepuh mriki nggih ngaten ko. Cendenipun kok menawi wonten nappa, malahan kula malahan ugi
perawatan inggih menika istilahipun perawatan tenggang masa.
sakderingipun acara menika kula ngaturi Kyai, tak aturi napa niku nggawe para masyarakat khususipun ingkang rawuh ampun ngantos keperkadosan menika ngijoli amplop, nggih napa sekedar
sing maksudipun? Lha ngene kan manahipun taksih ngaten nggih. Dipun robek-robek wong, dipunparingaken wong niku obat kawiane ngoten antara tiyangipun kalih sentimeter panjangipun limang sentimeter.
B: kedah adil, kedah dipun potong-potong ngaten?
A: Mboten, masyarakat umum menika sami nantu-nantu kabaripun wonten
Menawi dipunbikak menika wonten panitia khusus kangge
B: menawi bab dana panjenenganpribadi?
B: mboten wonten yayasan?
B: mboten saking pihak pemerintah, mboten wonten penggalian diun bikak jagar budaya?
A: Inggih wonten, pak Bupati rumiyin, sakderegipun pak Kunto nate rawuh,
enjangipun. Antawis jam wolu ngantos jam sembilan.

Data di atas termasuk campur kode karena seperti yang terangkan pada awal bahwa yang namanya campur kode adalah adanya percampuran dua atau lebih bahasa dan dalam hal ini bahasa asli yaitu bahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia. Dalam data rekam tersebut ditemukan beberapa kata/leksikon bahasa Indonesia seperti yang dicatak tebal di atas. Dikarenakan dalam bahasa Jawa kata/leksikon tersebut tidak ada.

BAB IV
PENUTUP


Hasil analisis dengan menggunakan berbagai metode di muka pada dasarnya akan mengujikan dua asumsi pokok dalam sosiolinguistik, yaitu pertama, penjelasan tentang bahasa tidak memadai tanpa melibatkan unsur-unsur di luar bahasa, kedua, pemakaian bahasa dalam masyarakat selalu bervariasi. Dalam pada itu, dalam melihat hubungan antara bahasa dan konteks sosial budaya, Wardhaugh (1986: 10-11) menyatakan kemungkinan hubungan itu ke dalam empat korelasi.

Pertama, struktur sosial dapat mempengaruhi dan menentukan struktur atau perilaku bahasa. Salah satu contoh hubungan ini berkaitan dengan fenomena ragam-umur (age-grading). Anak-anak berbeda bicaranya dengan remaja, demikian pula remaja berbeda bahasanya dengan orang dewasa. Cara berbicara, pilihan kata dan kaidah dalam percakapan sangat ditentukan oleh realitas sosial umur ini.
Kedua, hubungan yang sebaliknya dari yang pertama, yaitu struktur dan perilaku bahasa dapat mempengaruhi dan menentukan struktur sosial

Ketiga , hubungan keduanya adalah timbal-balik. Bahasa dan masyarakat mempengaruhi satu sama lain. Saling pengaruh ini bersifat dialektal, sebagaimana dikutip Dittmar bahwa kaum Marxis berpendapat bahwa perilaku bahasa dan perilaku sosial merupakan interaksi yang konstan.
Terakhir, struktur bahasa dan struktur sosial tidak berhubungan sama sekali. Karena itu, masing-masingnya berdiri sendiri. Pandangan ini diperkenalkan oleh Chomsky yang dalam berbagai tulisannnya memberi satu pandangan bahwa bahasa adalah a-sosial.

Dalam analisis data diatas ditemukan interferensi dan campur kode karena dalam keseharian informan yang menggunakan bahasa Jawa Krama dan dicampur dengan kata/leksikon bahasa Arab dan juga bahasa Indonesia. Alasan si penutur menggunakan bahasa Arab dan Indonesia disamping dalam bahasa jawa tidak ada padanannya dan juga sudah lazim digunakan dalam masyarakat setempat.

DAFTAR PUSTAKA


Chaika, Elaine. 1982. Language the Social Mirror. Massachussetts: Newbury House Publishers, Inc.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Eresco.
Holmes, Janet. 1995. An Introduction to Sociolinguistics. (Cetakan ke-6). Harlow Essex: Longman Group Limited.
Hymes, Dell. 1970. “ Linguistic Method in Etnography: Its Development in the United States” dalam Paul L. Garvin. Method and Theory in Linguistics. The Hague, Paris: Mouton.
Kartomiharjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Dpedikbud, Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan.
Koentjaraningrat (editor). 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. (cetakan ke-13). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lund, Nick. 2003. Language and Thought. London dan New York: Routledge.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasution. 2004. Metode Research, Penelitian Ilmiah. (cetakan ke-7). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rakhmat, Jalaludin. 1993. Metode Penelitian Komunikasi. (edisi kedua cetakan ketiga). Bandung: PT Rosdakarya.
Schriffin, Deborah. 1987. “Discovering the Context of An Utterance”. Dalam Linguistics. N. Dittmar (editor). Hal. 11-32.
Spolsky, Bernard. 2003. Sociolinguistics. (Cetakan ke-4). Oxford: Oxford University Press
Subroto, D.Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural, Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.
Wijana, I. Dewa Putu. 2006. Sosiolinguistik Kajian dan Teori. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


Blog, Updated at: 3:07 PM

1 komentar:

Popular Posts

Recent

Powered by Blogger.

Followers